/a>

Minum Tuak Merupakan Kearifan Lokal Bagi Masyarakat di Tanah Batak

Sumatera Utara, //Klewangnews.com- Maragat adalah pekerjaan menyadap pohon bargot (aren, enau) untuk menghasilkan minuman khas tradisional yang beralkohol, dan pada umumnya dikenal namanya dengan tuak terkhusus di Wilayah Tanah Batak Provinsi Sumatera Utara, Jum’at.(12/1/24)

Maragat merupakan salah satu pekerjaan yang sudah menjadi tradisi di tengah masyarakat Batak sejak dahulu dan biasanya seorang pekerja disebut namanya sebagai seorang Paragat.

Pekerjaan maragat, lebih dominan dilakukan oleh laki laki, meskipun ada sebagian dilakukan oleh perempuan.

Tidak sembarang orang yang bisa maragat, karena harus memiliki keahlian tertentu. Pekerjaan ini membutuhkan konsistensi tingkat tinggi, seperti ketelitian dan kesabaran.

Pekerjaan ini dimulai dari merawat pohon bargot yang biasa tumbuh di perladangan atau sekitar hutan.

Pohon ini nantinya akan menghasilkan buah pertama yang disebut halto yaitu buah yang sering dijadikan bahan dasar kolang-kaling.

Setelah halto keluar, pada pohon aren akan tumbuh meang. Berbeda dengan halto, meang ini memiliki buah yang tekstur dan bentuknya lebih kecil dan lonjong dari buah halto, yang sedikit lebih besar.

Meang inilah yang kemudian diproses seorang paragat. Awalnya, meang ini dibabal (dipukul-pukul) menggunakan kayu berbentuk pentungan.

Setelah itu meang digoyang-goyang, sering disebut mengayun. Cara ini dilakukan untuk membuka pori-pori meang agar nantinya bisa mengeluarkan air tuak, yang disebut nira yang rasanya manis.

Membalbal dan mangayun ini bisa berlangsung sampai berminggu-minggu.Setelah tiba saatnya dan dianggap sudah matang, paragat akan melakukan pemotongan (manappul) batang meang dengan pisau khusus.

Nah setelah batang meang ini dipotong, paragat akan memberikan ramuan yang biasanya disebut mangarokkapi (meramu). Praktiknya, membungkus pangkal batang meang dengan ramuan dari batang keladi dan ramuan lainnya.

Manfaatnya, batang meang akan menghasilkan air nira lebih banyak lagi. Air nira inilah yang akan diramu dan di resep dengan bahan tertentu, sejenis kulit kayu yang disebut raru sehingga terjadi fermentasi dengan air nira dan menghasilkan minuman tuak.

Memanen hasil sadapan, bisanya dilakukan pagi dan sore, namun lebih sering sore hari dengan wadah jerigen. Tuak ini lalu dijual ke lapo-lapo atau warung-warung yang khusus menyediakan tuak. Warung ini dikenal dengan sebutan lapo tuak.

“Dari Sinilah Muncul Istilah Tuak Sore (Tusor), Karena Tuak Lebih Cocok Dinikmati Sore Hingga Malam Hari”.

Umumnya, harga tuak di lapo-lapo berkisar antara lain Rp.3000 sampai Rp.5000 per gelas. Atau Rp 20.000 per teko kecil, dengan volume lima gelas.

Selain sebagai minuman favorit sehari-hari masyarakat Batak, tuak juga kerap digunakan sebagai pelengkap acara adat masyarakat Batak Toba. Dalam lingkaran ini, sering muncul istilah parsituak natonggi, yang diwujudkan sebagai uang dari pihak tertentu yang tujuannya membeli tuak untuk dinikmati bersama-sama.

Paragat tuak biasanya dilakukan warga desa, karena pohon aren tumbuh di sekitar pedesaan atau dekat-dekat dengan hutan. Konon, di dalam mitologi atau cerita dongeng ataupun tari-tarian masyarakat Batak, pohon aren atau enau yang disadap ini merupakan penjelmaan seorang dewi yang sering menangis karena mengalami kesedihan.(Red/Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *